PERAN
PEREMPUAN DALAM PEMBERDAYAAN UMAT ERA 4.0 DAN TANGGUNG JAWABNYA TERHADAP
KELUARGA
Oleh : Eva Khofifa
Zaman
modern seperti sekarang, dunia kini memasuki era revolusi industri 4.0, yakni
menekankan pada pola digital economy, artificial intelligence, big data, robotic, dan lain sebagainya atau
dikenal dengan fenomena disruptive
innovation. Melalui bukunya The
Fourth Industrial Revolution Profesor Klaus Schwab sebagai
penggagas World Economic Forum (WEF) menyatakan, revolusi ini secara
fundamental dapat mengubah cara kita hidup, bekerja, dan berhubungan satu
dengan yang lain.
Revolusi Industri 4.0 merupaka era yang diwarnai oleh
kecerdasan buatan (artificial intelligence), era super komputer, rekayasa
genetika, inovasi, dan perubahan cepat yang berdampak terhadap ekonomi,
industri, pemerintahan, dan politik. Gejala ini diantaranya ditandai dengan
banyaknya sumber informasi melalui kanal media sosial, seperti youtube, instagram,
dan sebagainya.
Revolusi
industri keempat digadang-gadang mampu meningkatkan laju mobilitas informasi,
efisiensi organisasi industri, dan membantu meminimalisasi kerusakan lingkungan.
Namun, revolusi ini tidak datang tanpa membawa masalah baru. Masalah-masalah
tersebut diantaranya seperti media sosial pembawa berita bohong (hoax), juga
pergeseran model-model bisnis yang mengakibatkan beberapa jenis pekerjaan tidak
lagi dibutuhkan.
Guru Besar Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Prof. Engkus Kuswarno saat menjadi
pembicara kunci dalam Organizational Communication Conference (Oration) 2019
yang digelar Magister Ilmu Komunikasi Fikom Unpad di Ruang Oemi Abdurrahman,
Fikom Unpad, Jatinangor, Rabu (2019/9/1) menyebutkan, berdasarkan laporan
The Future of Jobs Report, World Economic Forum, terdapat lima keterampilan SDM
dalam era industri 4.0 dalam rentang waktu 2015-2020. Keterampilan tersebut
jika diurutkan yaitu complex problem solving, social skill, process skill,
system skill, dan cognitive abilities.
Setelah tahun 2020, diperkirakan kemampuan kognitif menjadi keterampilan
yang paling dibutuhkan, diikuti system skills, complex problem solving,
content skills, dan process skills. Hal tersebut juga menunjukan bahwa
untuk menghadapi era industri 4.0, dibutuhkan SDM yang memiliki kemampuan kognitif
yang fleksibel, logika berpikir yang baik, sensitif terhadap masalah, kemampuan
matematika, dan visualisasi. Secara garis besar era industri 4.0 butuh SDM terdidik artinya bahwa jika tidak menjadi
SDM industri 4.0 yang cerdas (smart), maka bisa jadi
akan menjadi korban pelengkap penderita.
Menghadapi
masalah tersebut, perempuan dituntut untuk melek dengan fenomena yang terjadi
di sekililing mereka, tidak boleh perempuan mengukung dan membatasi diri dari
arus teknologi tapi justru sebaliknya, perempuan harus ikut andil dalam
kemajuan revolusi industri ini. Lalu apa sajakah yang bisa dilakukan oleh perempuan
dalam menghadapi masalah revolusi industri 4.0 ini.?
Seorang perempuan berkualitas mampu menempatkan
dirinya dalam peran yang sangat penting, baik sebagai seorang ibu dalam
mendidik generasi masa depan, maupun berperan di ranahh publik termasuk di Era
Revolusi Industri 4.0. Namun, data terakhir per
Februari 2017 dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa hanya
terdapat 30% pekerja perempuan di bidang industri sains, teknologi,
engineering, dan matematik.
Kaum
perempuan memiliki peran dan fungsi yang sangat strategis. Ini berlaku di
masyarakat maupun keluarga. Apalagi, jumlah perempuan adalah mayoritas. Jika
mereka diberdayakan, maka keluarga dan masyarakat akan sejahtera.
Sebetulnya
banyak cara yang bisa dilakukan oleh perempuan asal dia respec (peduli)
dan mau, peduli dengan fenomena yang terjadi di sekelilingnya dan mau menjadi
perempuan yang berdaya sekaligus bermanfaat juga untuk publik. Terlahir sebagai
perempuan adalah takdir namun menjadi perempuan yang good quality dan
bermanfaat untuk orang lain adalah pilihan, tinggal anda pilih tentu semua itu
ada ganjaran.
Sedikit
menengok sejarah masa Nabi dan Sahabat. Pada masa Rasulullah aktivitas
perempuan tidak hanya terbatas pada ruang-ruang domestik atau ruang yang ada
dalam rumah tangga tetapi ada beberapa perempuan yang juga berperan dalam ranah
publik. Sejarah mencatat nama-nama besar muslimah yang mempunyai peran luar
biasa dibidangnya masing-masing.
Khodijah
binti Khuwailid (istri pertama rasulullah SAW) melalui kemampuan lobinya upaya
kelompok elit Mekkah untuk mengganjal perjuangan Nabi di kota itu selalu dapat
digagalkan.
Asy-Syifa
(Ummu Sulaiman) merupakan seorang guru wanita pertama dalam Islam (salah satu
muridnya adalah Hafshah binti Umar, istri Rasulullah SAW), penasehat Kholifah
Umar bin Khottob.
Rufaidah,
adalah seorang perempuan pendiri rumah sakit dan palang merah pertama zaman
Nabi Muhammad SAW.
Sedangkan
peranan perempuan pada masa Khulafaur Rasidin antara lain yaitu:
Siti Aisyah
(istri Rasulullah SAW), beliau sering menyampaikan gagasan-gagasannya kepada
para penguasa dalam urusan kenegaraan bahkan terjun dikancah politik pada masa
Usman bin Affan. Aisyah juga meriwayatkan hadis, aktif dalam bidang pendalaman
keilmuan yang meliputi kajian hukum, sastra dan sejarah.
Shaykhah
Shunda, beliau mengajar berbagai disiplin ilmu, mulai dari sastra, ilmu hitung
sampai puisi.
Fatimah
binti Muhammad SAW, merupakan putri Nabi Muhammad SAW. Beliau adalah orator
ulung, terjun ke dunia politik dengan mencalonkan Ali bin Abi Tholib (suaminya)
menjadi Kholifah pertama.
Selanjutnya
bagaimana pula perempuan pada abad pertengahan?
Perempuan
pada abad pertengahan menduduki sejumlah peran
sosial berbeda. Pada Abad Pertengahan, periode sejarah Eropa yang berlangsung
dari sekitar abad ke-5 sampai ke-15. Menurut
McKay, pada dekade 1560 dan 1648 merupakan penurunan status perempuan di
masyarakat Eropa. Pada zaman itu perempuan dianggap sebagai sumber dosa dan
merupakan makhluk kelas dua di dunia ini. Walaupun beberapa pendapat pribadi dan hukum publik yang
berhubungan degan status perempuan di barat cukup bervariasi, tetapi terdapat
bukti-bukti kuat yang mengindikasikan bahwa perempuan telah dianggap sebagai
makluk inferior. Sebagian besar
perempuan diperlakukan sebagai anak kecil-dewasa yang bisa digoda atau dianggap
sangat tidak rasional. Bahkan pada tahun 1595, seorang profesor dari Wittenberg
University melakukan perdebatan serius mengenai
apakah perempuan itu manusia atau bukan.
Pelacuran merebak dan dilegalkan oleh negara. Perempuan menikah di abad
pertengahan juga tidak memiliki hak untuk bercerai dari suaminya dengan alasan
apapun. (McKay, John P, Bennet D. Hill and John Buckler, 1983, hal. 437 s/d 541).
Lalu apa
sajakah yang bisa dilakukan perempuan di zaman modern. Berikut beberapa hal
yang bisa dilakukan oleh perempuan dalam memberdayakan umat (masyarakat) era
4.0 :
Pertama,
memberikan
pengetahuan dan keterampilan untuk kegiatan ekonomi kepada orang lain terutama
pemberian informasi, fasilitas dan ruang untuk memasarkan hasil produk mereka,
karena era 4.0 dihadapkan pada ekonomi digital.
Pemberdayaan
perempuan membuka ruang bagi perempuan untuk berperan aktif secara ekonomi, menjadikan
perempuan mandiri, tak bergantung pada laki-laki dan yang lebih penting lagi
tidak menjadi beban negara. Maka perempuan harus didorong untuk terjun dalam
berbagai bidang pekerjaan pada era revolusi industri 4.0 yang serba digital
ini.
Kedua, meregulasi
SDM yang terdidik, jika perempuan tersebut sebagai tenaga pendidik (Dosen/Guru)
ia bisa memberikan pendidikan kepada mahasiswa agar siap terjun dalam era 4.0,
ini cara strategis karena ia bisa menyampaikan informai terkait era 4.0 agar setelah
lulus nanti mahasiswa tau zaman yang akan ia hadapi.
Ketiga, jika
perempuan tersebut pejabat publik (pemerintah) ia bisa meluncurkan kebijakan
dan program-program baik berupa pelatihan, work shop maupun seminar yang
dapat memberdayakan masyarakat karena ia memiliki kewenangan, selain itu pemerintah perlu memikirkan mitigasi dari efek samping revolusi 4.0 yang bergerak ke arah otomasi digital, artificial
intelligence, hingga advance robotic. Pasalnya, nantinya otomasi digital, AI, dan
robot akan banyak berperan sehingga hanya dibutuhkan sedikit tenaga kerja
manusia, sedangkan tenaga kerja di Indonesia berlimpah.
Selain
peran publik, perempuan juga memiliki kewajiban untuk berperan di ranahh domestik
(rumah tangga), Islam memang membolehkan perempuan bekerja di luar rumah. Baik
dalam rangka mendukung pembangunan masyarakat, misalnya sebagai guru, dosen,
dekan, rektor, manajer atau direktur perusahaan, pemilik supermarket, pengacara
dan sebagainya, akan tetapi saat bekerja dia tetap terikat dengan seperangkat
aturan, misalnya izin dari wali atau suami ketika hendak keluar rumah, menutup
aurat, tidak berkhalwat, dan tidak melalaikan kewajibannya yang utama sebagai
seorang ibu dan pengatur rumah tangga sesuai dengan hukum syara’. Ia akan
menjadi istri yang salihah bagi suaminya dan pendidik anak-anaknya. Pengabdian
utama dan pertama bagi seorang perempuan adalah menjadi ibu dan pendidik
generasi. Baik tidaknya generasi bergantung padanya.
Peran
ibu sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak. Semenjak masa kehamilan,
melahirkan, dan menyusui. Dilanjutkan dengan masa pengasuhan dan pendidikan
sampai anak bisa mandiri, yakni mampu mengurus diri sendiri dan mampu
membedakan yang baik dan yang buruk. Baik buruknya perilaku anak di masa dewasa
ditentukan oleh benar-salahnya
pendidikan yang diberikan oleh orang tuanya, khususnya oleh seorang ibu.
Menurut Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak. Yohana Susana Yambise, beliau menuturkan,
menjadi seorang ibu di Era Revolusi Industri 4.0 memiliki tantangan tersendiri.
Sebagai seorang ibu perlu membuka diri (open mind) dan mau terus belajar
mengikuti perubahan jaman yang tentunya diikuti dengan perubahan perilaku, karakter
dan sikap anak-anak yang hidup di jaman ini.
“Saya berharap kaum perempuan sebagai pendidik
generasi penerus mampu menerapkan nilai-nilai agama, kebaikan, dan moral dengan
cara yang berbeda dengan jaman kita dahulu. Sangat diperlukan suatu pendekatan
yang berbeda dari jaman yang sudah lalu dalam mendidik dan menjaga anak-anak
kita agar menjadi generasi yang mampu bersaing di era global, beretika, dan
membanggakan, baik bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa dan
negara," tutup Menteri Yohana.
Persoalan
domestik dan peran ganda perempuan, seringkali menjadi problem yang dilematis,
terutama bagi mereka yang berprofesi sebagai perempuan karir. Padahal
sesungguhnya hal itu tidak perlu terjadi bila perempuan tersebut benar-benar
menghayati tugas dan kewajibannya sebagai isteri, sebagai ibu rumah tangga dan
perannya sebagai perempuan karir.
Islam
adalah agama yang menghormati perempuan, lalu bagaimanakah perspektif Al-quran
dan hadis memandang peran perempuan di ranah publik dan domestik.
Landasan normatif tentang kewajiban perempuan untuk tinggal di dalam
rumah atau hanya berkiprah di ranah domestik selalu merujuk pada QS.
Al-Ahzab/33: 33, yang selengkapnya berbunyi :
tbös%ur
Îû £`ä3Ï?qãç/ wur Æô_§y9s? yly9s? Ïp¨Î=Îg»yfø9$# 4n<rW{$# ( z`ôJÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# úüÏ?#uäur no4q2¨9$# z`÷èÏÛr&ur ©!$# ÿ¼ã&s!qßuur 4 $yJ¯RÎ) ßÌã ª!$# |=ÏdõãÏ9 ãNà6Ztã }§ô_Íh9$# @÷dr& ÏMøt7ø9$# ö/ä.tÎdgsÜãur #ZÎgôÜs? ÇÌÌÈ
33. Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu[1215] dan
janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang
dahulu[1216] dan Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan
Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu,
Hai ahlul bait[1217] dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.
[1215] Maksudnya: isteri-isteri Rasul agar tetap di
rumah dan ke luar rumah bila ada keperluan yang dibenarkan oleh syara'.
perintah Ini juga meliputi segenap mukminat.
[1216] yang dimaksud Jahiliyah yang dahulu ialah
Jahiliah kekafiran yang terdapat sebelum nabi Muhammad s.a.w. dan yang dimaksud
Jahiliyah sekarang ialah Jahiliyah kemaksiatan, yang terjadi sesudah datangnya
Islam.
[1217] Ahlul bait di sini, yaitu keluarga rumah
tangga Rasulullah s.a.w.
Dalam beberapa kitab tafsir, setidaknya ditemukan tiga model
interpretasi yang berbeda dalam memahami ayat ini. Perbedaan makna ini muncul
karena perbedaan cara membaca kata ق
ن di dalam
ayat tersebut. Pertama, sebagian besar mufassir membacanya dengan waqarna (qaf berbaris fathah). Cara bacaan ini
melahirkan pengertian “hendaklah para perempuan berdiam di rumah”. Dalam ilmu
balghah, kita mengenal yang disebut khabariah
bi makna insyiy, redaksi informatif yang
menunjukkan makna instruktif. Boleh jadi, ini ikut andil dalam menegaskan bahwa
perempuan wajib berdiam diri di rumah (domestikasi).
Kedua, sebagian lagi
membaca kata tersebut dengan waqirna (qaf berbaris kasrah). Bacaan ini melahirkan pengertian “hendaklah para perempuan
bersenang-senang di dalam rumah” (Al-Qasimiy, 1999: 249). Meskipun tidak
sepenuhnya membebaskan perempuan dari domestikasi, namun pendapat ini tampaknya
lebih ramah kepada perempuan.
Ketiga, golongan ini berpendapat bahwa ayat ini tidak berarti perempuan sama
sekali tidak boleh keluar dari rumah, melainkan isyarat yang halus bahwa
perempuan lebih berperan dalam urusan rumah tangga. Pendapat ini nampaknya
lebih realistis memandang perempuan dan mengakui bahwa mereka adalah bagian
dari mahluk sosial yang mempunyai kebutuhan yang sama dengan laki-laki. Di
antara kebutuhan-kebutuhan itu ada yang tidak dapat dipenuhi manakala ia tidak
meninggalkan rumah. Perempuan membutuhkan pengetahuan yang boleh jadi tidak
dapat diberikan oleh suaminya. Perempuan juga adalah anak dari orang tua yang
boleh jadi tinggal terpisah dengannya dan demi untuk berbakti kepada keduanya
mereka harus meninggalkan rumah. Perempuan adalah hamba Allah dan kewajiban
untuk mengabdi kepada-Nya kadang-kadang menuntut mereka untuk meninggalkan
rumah. Karenanya, menurut golongan ini, ayat ini tidak menunjukkan perintah bahwa
perempuan mutlak tinggal di dalam rumah, namun boleh saja keluar dengan
alasan-alasan tertentu (Sa‘id Hawa, 1999 : 4437).
Menurut pendapat jumhur fuqaha’, ada dua anggota tubuh yang
boleh kelihatan dari perempuan di ranah publik, yaitu muka dan kedua telapak
tangan. Dapat dipastikan, menurut kebiasaan, di kedua anggota tubuh ini ada
perhiasan yang biasa dikenakan, yaitu gelang, cincin, dan perhiasan di bagian
hidung bagi orang-orang India. Bagitu juga anggota tubuh kaki, menurut Abu
Hanifah, boleh tampak, terlebih jika memang itu dibutuhkan ketika bekerja.
Karena itu gelang kaki sebagai kebiasaan berhias bagi perempuan Arab dahulu
boleh juga ikut tampak. Hanya saja dalam ayat etika bergelang hias tidak diperkenangkan
menjadi pemicu syahwat dan tabarruj jahiliyah. Menurut Ibnu Kasir, al-tabarruj
al-jahiliyah yang sangat dilarang bagi peempuan ketika berada di ranah
publik adalah tingkah perempuan di depan laki-laki dengan aurat terbuka, sehingga
segala perhiasannya kelihatan, yang seharusnya tidak dinampakkan.
Dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa, perempuan abad modern yang dihadapkan pada revolusi industri
keempat harus berdaya sekaligus memberdayakan masyarakat lain sebagai bentuk
kepedulian sosial, dalam ajaran islam perempuan tidak dilarang aktif di ranah
publik atau wanita karir selama tidak membahayakan diri sendiri, terbebas dari resiko yang akan menimpa pisiknya atau
psikisnya (fitnah), tidak melanggar syariat islam dan tidak melalaikan tanggung
jawabnya terhadap keluarga.
Sumber bacaan
Al-Qasimiy, Mahasin at-Ta’wil, jilid II. Bairut: Dar al-Fikr, 1999.
Ibnu
Katsir. Tafsir al-Qur’an al-Azhim. Jilid 3. Beirut-Libanon: Dar al-Fikr, 1992.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak. “Daya Saing Perempuan Di Era Revolusi Industri 4.0”. Siaran
Pers Nomor: B-049/Set/Rokum/MP. 1 April 2018.
McKay, John P, Bennet D.
Hill and John Buckler, A History of
Western Society, Second Edition. Houghton Mifflin Company, Boston. 1983.
Sa‘id Hawa, al-Asas fi at-Tafsir, Jilid ke-8. Kairo: Dar as-Salam. 1999.