AL-Qur’an
dan Hadis Mencumbu Perempuan
Berbicara perempuan, maka selayaknya
berbicara tentang keindahan. Lelaki yang tidak didampingi perempuan bagaikan
perahu tanpa sungai, malam tanpa bintang, atau biola tak berdawai.
Tanpa perempuan, bayi tak akan
pernah lahir, dan yang lahir pun tak dapat merasakan indahnya kasih sayang.
Tanpa perempuan, masa muda seorang lelaki akan menjadi gersang, masa-masa
matangnya akan menjadi hampa, dan boleh jadi masa tuanya akan menjadi
penyesalan.
Pengalaman penulis, atau bahkan
pengalaman lelaki pada umumnya, ketika perempuan memasuki hidup lelaki, maka ia
seketika menjelma seorang penyair, seniman, sastrawan, yang haus akan
keindahan.
Perempuan sangatlah penting bagi
lelaki, yang kerap terjadi adalah mereka bersedia saling membunuh hanya untuk
memperebutkannya. Masih ingat pada benak kita, bahwa sebab pembunuhan pertama
antar saudara kandung adalah karena seorang perempuan. Kendati lelaki yang
pembohong serta mementingkan diri sendiri dan perempuan yang banyak bicara juga
tinggi hati, apabila keduanya bertemu tetap saja pertemuan mereka itu indah dan
menyenangkan, selama mereka masing-masing telah terbiasa dan saling mengenal
lagi saling membutuhkan.
Setidaknya ada tiga poin penting
dalam tulisan sederhana ini. Pertama, proses kejadian dan kedudukan
perempuan. Kedua, bagaimana menghormati dan memanjakan perempuan. Ketiga,
tentang dunia kepemimpinan bagi perempuan. Tentunya berdasarkan Alquran dan
Hadis.
Sebelum melangkah lebih jauh, alangkah
baiknya kita ketahui dulu makna perempuan dan bagaimana proses perempuan
diciptakan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia V
mengartikan perempuan lebih kepada bentuk fisik. Yakni, perempuan adalah orang
(manusia) yang mempunyai vagina, dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak, dan
menyusui. Sesuatu yang tidak mungkin dilakukan oleh seorang laki-laki, meskipun
dengan kecanggihan dunia kedokteran dapat mengubah laki-laki menjadi perempuan
dengan beberapa tahapan operasi, tetap saja tidak dapat lepas dari kodrat
aslinya.
Masih dalam sumber yang sama,
terdapat pengertian yang serupa namun lebih kepada non fisik, yaitu kata
“Wanita”. Diartikan sebagai perempuan yang dewasa, atau dalam dunia Islam
kondang dengan sebutan baligh.
Sementara itu,
cendekiawan muslim dan juga pakar tafsir Indonesia Muhammad Quraish Shihab
mengatakan, perempuan dapat melakukan pekerjaan apapun selama ia membutuhkannya
atau pekerjaan itu yang membutuhkannya. Semua dapat dilakukan selama
norma-norma agama dan asusila tetap terpelihara.
Pandangan seorang Profesor yang
meraih gelarnya di Universitas Al-Azhar Mesir di atas menurut pandangan penulis adalah
upayanya mengangkat derajat perempuan dengan mensetarakan haknya bersanding
sama dengan laki-laki, singkatnya; kesetaraan gender.
Hampir sama dengan apa yang penulis
uraikan di awal tulisan ini, Yusuf Al-Qardhawi mengatakan bahwa perempuan
adalah penyempurna bagi laki-laki. Bagi seorang lelaki, tanpa perempuan dunia
layaknya sebuah neraka, dan dengan adanya perempuan hidup bisa menjadi surga di
dunia ini.
Kiai Said Aqil Siradj menegaskan
bahwa perempuan adalah makhluk mulia, dengan bukti telah diabadikannya sebuah
nama surah An-Nisa yang tak lain memiliki arti perempuan. Tidak ditemukan surah
Ar-Rijal dalam Alquran. Tandasnya.
Lantas bagaimana Alquran
menggambarkan sebuah kedudukan seorang perempuan? Mengenai kedudukan perempuan,
memaksa kita terlebih dahulu mengetahui bagaimana asal kejadian perempuan menurut
Alquran. Salah satu ayat yang menggambarkan demikian adalah Surah Al-Hujarat
[49] : 13.
Ayat tersebut menjelaskan tentang
asal kejadian manusia dari seorang laki-laki dan perempuan, sekaligus berbicara
kadar kedudukan kemuliaan di sisi-Nya, bukan dari keturunannya, suku atau yang
terpenting yaitu tidak dari jenis kelaminnya, akan tetapi dari seberapa banyak
kadar ketakwaannya terhadap Allah swt.
Mahmud Syalyut, mantan Syaikh
Al-Azhar, menyinggung ayat tersebut dalam bukunya Min Tawjihat Al-Islam bahwa,
tabiat kemanusiaan antara lelaki dan perempuan hampir dapat dikatakan sama.
Allah telah menganugerahkan kepada perempuan sebagaimana menganugerahkan kepada
lelaki potensi dan kemampuan yang cukup untuk memikul tanggung jawab, dan
menjadikan kedua jenis kelamin ini dapat melaksanakan aktifitas-aktifitas yang
bersifat umum maupun khusus.
Ayat lain yang populer mengatakan
tentang asal kejadian perempuan adalah Surah An-Nisa [4] : 1. Yang menjadi
perdebatan diantara ulama tafsir adalah kata nafs dalam penggalan ayat tersebut. Ulama sekelas
Jalaluddin As-Suyuthi, Ibn Katsir, Al-Qurthubi, Al-Biqa’i, Abu As-Su’ud, bahkan
At-Tabarsyi, salah satu ulama bermadzhab Syi’ah sepakat mengatakan kata
tersebut sebagai “Adam”.
Berbeda dengan pandangan di atas,
ulama tafsir kontemporer Muhammad Abduh dalam Tafsir Al-Manar nya
berpendapat bahwa kata nafs ialah diartikan sebagai “jenis”.
Hemat penulis, ulama terdahulu
mengartikan kata nafs sebagai Adam karena tak lepas dari kata setelahnya
yang berbunyi zaujaha, yang mempunyai makna harfiyahnya sebagai
“pasangannya”, mengacu kepada isteri Adam, yakni Hawa.
Dapat disimpulkan bahwa ulama
terdahulu mengatakan perempuan diciptakan dari laki-laki itu sendiri. Tentu
saja pandangan ini berpotensi negatif bagi perempuan, salah satunya pernyataan “tanpa
lelaki, perempuan tidak akan ada”.
Ulama terdahulu yang berpendapat
demikian tentu bukan tanpa dasar, pandangan tersebut agaknya bersumber dari
sebuah hadis yang menyatakan “Saling pesan memesanlah untuk berbuat baik
kepada perempuan, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok” (HR.
At-Tirmidzi dari Abu Hurairah).
Meskipun ulama terdahulu memahaminya
secara harfiyah, namun tidak sedikit ulama kontemporer memahaminya secara
metafora, bahkan ada yang menolak keshahihan hadis tersebut.
Teruntuk pemahaman secara metafora,
memahaminya bahwa hadis tersebut memperingatkan laki-laki agar menghadapi
perempuan dengan bijaksana, karena ada sifat, karakter, dan kecenderungan
mereka yang tidak sama dengan lelaki, bila tidak disadari maka lelaki akan
bersikap tidak wajar terhadap perempuan. Pandangan inilah yang nanti akan di
bahas lebih intim pada paragraf berikutnya.
Ulama tafsir kontemporer lainnya,
Rasyid Ridha mengatakan dalam kitab Tafsir Al-Manar nya, Seandainya tidak
tercantum kisah kejadian Adam dan Hawa dalam kitab Perjanjian Lama, niscaya
pendapat yang mengatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam
tidak pernah akan terlintas dalam benak seorang muslim.
Perjanian Lama yang mengatakan
demikian rincinya adalah sebagai berikut: “Ketika Adam tidur lelap, maka
diambil oleh Allah sebilah tulang rusuknya, lalu ditutupkannya pula tempat itu
dengan daging. Maka dari tulang yang telah dikeluarkan dari Adam itu, dibuat
Tuhan seorang perempuan”.
Ayat lain yang mengatakan tegas
tentang persamaan kedudukan antara laki-laki dengan perempuan terdapat dalam
surah Al-Isra’ [17] : 70. Tentu saja, kalimat anak-anak Adam dalam ayat
tersebut mencakup laki-laki dan perempuan. Pemehaman demikian kemudian
dipertegas lagi oleh penggalan ayat dalam surah Ali Imran [3] : 195 yang
berbunyi “Sebagian kamu adalah bagian dari sebagian yang lain”.
Beberapa perdebatan mengenai
kedudukan laki-laki dan perempuan tersebut, dapat ditarik benang merah bahwa
Allah tidak melihat perbedaan seseorang dari jenis kelaminnya, akan tetapi
bagaimana makhluknya ini menjadi mulia dengan kadar ketakwaannya yang kaya.
Juga bagaimana cara kita untuk lebih menghargai ciptaan-Nya, terkhusus kepada
seorang perempuan, terlebih seorang yang menghargainya itu adalah laki-laki,
Maka, tak elok rasanya menghadapi perempuan dengan sebuah kekerasan. Perempuan
adalah makhluk penuh dengan kelembutan, maka untuk menaklukkannya harus dengan
kelembutan pula.
Setiap sudutnya, perempuan terdapat sisi
keindahan. Keindahan inilah yang merupakan anugerah dari Tuhan yang diberikan
kepada sosok perempuan. Dengan keindahan yang dipancarkan oleh perempuan kerap
kali menarik pandangan seorang lelaki, lelaki yang tertarik oleh seorang
perempuan yang disukainya ia akan lebih memperhatikan dirinya sendiri,
bagaimana caranya supaya perempuan itu memperhatikan dirinya kembali. Mulai
dari penampilan pakaiannya, rambutnya, juga aroma tubuhnya yang kerap dilumuri
oleh wewangian.
Ada beberapa sisi romantis Nabi
Muhammad dalam memanjakan perempuan, dimulai dari hal yang kecil, ambil misal
panggilan khumaira yang disematkan kepada Siti Aisyah yang memang
mempunyai pipi kemerah-merahan. Terlepas Nabi Muhammad adalah utusan Allah, hal
demikian sebenarnya telah menunjukkan bahwa Nabi adalah sosok yang romantis
dalam memanjakan perempuan.
Melihat kenyataan sekarang, para
remaja yang dimabuk asmara juga kerap kali memiliki panggilan khusus bagi yang
dicintainny, sebagai upaya menunjukkan rasa kasih sayangnya. Pun dengan
penulis, memanggil dengan sapaan “kamu” kepada seorang perempuan yang
dicintainya adalah bentuk perlakuan kasar. Artinya, perlakukanlah perempuan
seistimewa mungkin.
Selain itu, ada pula kesunnahan bagi
pengantin baru sebelum melaksanakan malam pertamanya, yakni, dianjurkan untuk
meminum segelas susu untuk berdua, yang konon amalan tersebut merupakan salah
satu ritual Nabi.
Nabi diutus ke muka bumi memang untuk
menyempurnakan akhlak yang mulia, akhlak yang mulia tersebut tercermin dalam
sikap Nabi yang memerdekakan beberapa budak, Nabi beranggapan bahwa semua
manusia mempunyai kedudukan yang sama, yang membedakan adalah sisi ketakwaan
kepada Allah swt. Memang, beberapa budak tersebut tidak hanya perempuan,
terdapat pula beberapa budak laki-laki, akan tetapi sikap yang tercermin oleh
Nabi tersebut hemat penulis adalah sebuah upaya untuk mengangkat derajat
perempuan.
Perempuan harus dihormati dan
dicintai, Nabi Muhammad sendiri menyatakan bahwa diciptakan oleh Allah buat
beliau dari apa yang terhidang di dunia ini, perempuan dan wewangian serta
shalat menjadi buah mata kesukaannya (HR. An-Nasa’i melalui Anas Ibnu
Malik). Pada kesempatan lain, beliau bersabda “Dunia ini adalah kesenangan dan
yang paling menyenangkan adalah perempuan yang shalihah” (HR. Muslim dan
An-Nasa’i mealui Abdullah Ibnu Amr Ibnu Al-Ash).
Sungguh hati ini merasa teriris,
tatkala mendapat berita dari media mengenai kekerasan terhadap perempuan. Yang
paling anyar tentu berita Ibu dan puterinya berusia tujuh tahun di Palembang
ditemukan tewas bersimbah darah.
Meskipun belum pasti dalang dibalik
kasus tersebut, namun dapat kita simpulkan bahwa pelaku tidak mempunyai rasa
kasih sayang terhadap seorang perempuan, terlebih korban adalah seorang ibu dan
seorang anak perempuan.
Kekerasan terhadap perempuan terus
meningkat setiap tahunnya. Selama kurun waktu 2017 saja terdapat 348.000 kasus
kekerasan terhadap perempuan yang didominasi KDRT dan pelecehan di dunia cyber.
Angka tersebut secara tidak langsung menunjukkan kurangnya pendidikan
menghargai perempuan di Indonesia ini. Jika pemahaman terhadap sosok perempuan
sudah tertanam, maka angka tersebut boleh jadi dapat menurun setiap tahunnya.
Menilik masa lalu, memang kekerasan
terhadap perempuan sudah lama terjadi. Termasyhur dalam kisah masyarakat Arab
jahiliyah memperlakukan perempuan dengan martabat yang rendah, mereka akan membunuh
bayi yang baru lahir dengan kelamin perempuan, mereka menganggap bahwa
mempunyai perempuan adalah sebuah aib dan simbol kelemah.
Tak sekedar di Arab, masyarakat
Yunani yang terkenal dengan pemikiran-pemikiran filsafatnya, tidak banyak
membicarakan hak dan kewajiban perempuan. Di kalangan elit mereka perempuan
disekap dalam istana.
Beralih ke topik terakhir mengenai
perempuan dan kepemimpinan. Masalah kepemimpinan perempuan adalah sebuah
persoalan yang paling aktual untuk terus dibincangkan. Persoalan inilah yang
sempat menjadi tema pada bahsul masail di Muktamar NU di Lombok pada tahun
1997. Kala itu, muncul dua kubu yang berbeda pendapat, pertama dari Kiai Nur
Muhammad Iskandar dengan tegas menolak Presiden dari kalangan perempuan,
sedangkan Masdar Farid Mas’udi tidak menemukan dasar atau dalail yang menolak
kepemimpinan dari kalangan perempuan.
Singkat cerita Ketua PBNU
Abdurrahman Wahid kala itu dalam pernyataannya kepada pers mendukung ide bahwa
perempuan dapat menjadi Presiden.
Selain dari Gus Dur, KH. Husain
Muhammad memberikan sumbangan pemikirannya, menurutnya bahwa segala sesuatu
tergantung pada zaman, pada konteks sosiologis, dari dulu sampai sekarang, dari
abad ke abad dan dari tahun ke tahun. Yang dicari olehnya adalah esensi ajaran
agama, substansi dan perinsip-perinsip yang mesti dipegang teguh, termasuk
perinsip kesetaraan gender juga tercantum di dalam Alquran.
Paling tidak ada dua alsan yang
mendasari larangan perempuan untuk menjadi pemimpin. Pertama, Ayat Ar-rijalu
qawwamuna ‘alan-nisa, QS. An-Nisa [4] : 34. Kedua, Hadis yang
mengatakan tidak akan berbahagia satu kaum yang menyerahkan urusan mereka
kepada perempuan.
Penjelasan poin yang pertama menurut
Muhammad Quraish Shihab bahwa kata ar-rijal dalam ayat tersebut bukan
berarti lelaki secara umum, tetapi memiliki arti “suami” karena konsiderans
perintah tersebut seperti ditegaskan pada lanjutan ayat adalah karena mereka
(para suami) menafkahkan sebagian harta untuk isteri-isteri mereka. Sedangkan
yang dimaksud dengan kata “lelaki” adalah kaum pria secara umum,
Tentu
konsideransnya tidak demikian. Terlebih lanjutan ayat tersebut secara jelas
berbicara tentang para isteri dan kehidupan rumah tangga. Ungkapnya.
Penjelasan poin berikutnya juga
sama, hadis ini tidak bersifat umum, hadis ini ditujukkan kepada masyarakat Persia ketika itu, harus
dikaitkan dengan konteks pengucapannya, yakni berkenaan dengan pengangkatan
puteri penguasa tertinggi Persia sebagai pewaris kekuasaan ayahnya yang mangkat.
Bagaimana mungkin dinyatakan bahwa
semua penguasa tertinggi yang dari golongan perempuan pasti akan gagal?
Bukankah Alquran berbicara betapa bijaknya Ratu Saba’ yang memimpin negeri
Yaman? (Baca QS. An-Naml [27] : 44).
Bukankah dalam kenyataan zaman
dahulu hingga dewasa ini seorang perempuan dapat berhasil memimpin di berbagai Negara
dari sekian banyak kepala Negara laki-laki? Bahkan bisa dikatakan dari golongan
perempuan lebih unggul.
Dengan bukti menilik masa lalu, ada
Cleopatra (51-30 SM) di mesir adalah seorang pemimpin perempuan yang kuat,
ganas, dan cerdik. Ada lagi yang bernama Semaramis (sekitar abad ke -8 SM).
Dalam istana para penguasa dinasti Arab dan Turki, konon sering kali yang
memegang jalannya pemerintahan adalah ibu para penguasa mereka.
Tak usah jauh-jauh, di Negeri kita
juga sepertinya sudah tidak asing mengenai kepemimpinan perempuan. Dimulai dari
Presiden RI ke 5 Megawati Soekarno Puteri, di jajaran Menteri ada Ibu Susi Pujiastuti,
Khofifah Indar Parawansa mewakili dari pemimpin wilayah Jawa Timur, Wali Kota
Surabaya yang dipimpin oleh seorang perempuan yang tegas bernama Tri
Rismaharini, dan masih banyak lagi pemimpin perempuan dari kalangan perempuan.
Belum lagi di beberapa mancanegara,
contohnya saja di Sinegal yang pernah memiliki seorang Perdana Menteri bernama
Mame Madior Boye yang memimpin Republik Sinegal dari kurun 2011-2012. Bahkan di
Singapura sempat memiliki Perdana Menteri Muslim perempuan bernama Halimah
Yacob. Menariknya kala itu di Singapura bermayoritaskan Budha dan Kristen.
Dari sekian banyak uraian mengenai
perempuan, penulis dapat berkesimpulan bahwa perbedaan fisik antara laki-laki
dan perempuan bukanlah penghalang dalam melakukan kebebasan dalam menyalurkan
haknya, selama itu tidak melanggar norma yang berlaku, maka sah-sah saja
seorang perempuan melakukan kewajiban yang layaknya dilakukan oleh seorang
laki-laki. Sekali lagi penulis tegaskan bahwa dalam urusan agama bukan
perbedaan antara keduanya, semua makhluk di mata Allah sama, yang membedakan
hanya seberapa kaya akan ketakwaan kepadaNya.
Wallahu
A’lam….
Biografi
Penulis
Nama : Fasfah Sofhal Jamil
TTL : Cirebon, 5 Oktober
1994
Alamat : Japurabakti Astanajapura
Cirebon
Jurusan : Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
Semester : IV
Fakultas
: Ushuluddin Adab dan
Dakwah
WA : 085219897038
e-mail : sofhaladnan@gmail.com